Selasa, 28 Februari 2012

Fungsi Dan Kedudukan Sunnah


FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH TERHADAP AL-QURAN
  1. Kedudukan As-Sunnah
Jumhur ulama menyatakan bahwa As-Sunnah memiliki kedudukan ke-2 setelah al-Qur'an. Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah pemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah:
1.      Al-Qur'an memiliki sifat qath’i al-wurud, sedang As- Sunnah bersifat zhanni al-wurud. Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan.
2.      As- Sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Qur'an. Ini harus dipahami bahwa yang menjelaskan ( As-Sunnah) berkedudukan setingkat di bawah yang menjelaskan (al-Qur'an).
3.      Adanya beberapa hadits dan atsar yang memberikan keterangan tentang urutan dan kedudukan As- Sunnah setelah al-Qur'an hal ini bisa dilihat dari dialog antara Nabi dengan Mu’az bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeri Yaman sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?”. Mu’az menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanya nashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuan dalam sunnah maka dengan berijtihad.
4.      Al-Qur'an berasal dari Allah sedang sunnah/hadits berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itu lebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.
Selain argumen di atas al-Qur'an dan As- Sunnah sendiri menyatakan bahwa kedudukan As- Sunnha memang berada di nomor kedua setelah al-Qur'an. Hal itu bisa ditemui dalam surat an-Nisa’ ayat 59: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Dan dalam ayat 80: Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Selanjutnya dalam hadits Nabi ditegaskan: Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Qur’an) dan sunnah rasul-Nya (HR. Abu Daud).
Terlepas dari berbagai alasan atau dalil yang menunjukkan bahwa kedudukan As- Sunnah menempati posisi kedua setelah al-Qur’an banyak ayat-ayat yang tidak dapat dijelaskan, dan itu bisa ditemui dalam penjelasan-penjelasan yang ada di dalam As-Sunnah.
Penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW terhadap maksud ayat-ayat tersebut sesuai dengan perintah yang diberikan Allah SWT kepada beliau: Sebagaimana dalam surat an-Nahl ayat 44: Artinya: dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamuAl-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, Dan dalam surat Ali Imran 164: Artinya : Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
  1. Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Menetapkan hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur’an danAs-Sunnah itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim.
Menempati posisi kedua setelah al-Qur’an, As-Sunnah memiliki fungsi sebagai bayan atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan dari al-Qur’an. Adapun penjelasan-penjelasan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an diantaranya:
1.      Bayan tafshil
Yang dimaksud bayan tafshil ialah, bahwa As-Sunnah itu menjelaskan atau memperinci ke-mujmal-an al-Qur’an, karena al-Qur’an bersifat mujmal (global) maka agar dia dapat berfungsi kapan saj adan dalam keadaan apa saja diperlukan perincian, dari situ fungsi sunnah sangat diperlukan.
Contoh fungsi As-Sunnah sebagai bayan tafshil yaitu masalah perintah shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan haji dan qishash. Perintah untuk melakukan hal-hal di atas, secara gamblang dapat terdapat di dalam al-Qur’an. Namun teknik operasional dari hal-hal tersebut tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi didapati dalam As-Sunnah.
Dalam permasalahan shalat misalnya, wa aqimu shalat (dirikanlah shalat) merupakan perintah oleh Allah kepada manusia untuk melaksanakan shalat, bahkan menurut para ulama, kalimat tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi tata cara dan bilangan rakaatnya tidak diperjelas dalam al-Qur’an, oleh sebab itu muncullah hadits yang menjelaskan bagaimana pelaksanaan shalat, sebagaimana hadits: ”Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat”
Begitu pula hal-hal yang berkenaan dengan shalat, misalnya shalatnya orang yang muqim, bepergian, dalam keadaan perang, dalam keadaan sakit, maupun yang lainnya. Secara syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya, semua dijelaskan oleh Rasulullah.
2.      Bayan takhsish
Selain bersifat umum mujmal (global), al-Qur’an juga memiliki ayat-ayat yang bersifat umum, dari sini fungsi As-Sunnah yakni mengususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bagian takhsish ini di samping As-Sunnah sebagai bayan, juga antara al-Qur’an dan As-Sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.
Contoh sunnah yang mentakhsishkan al-Qur’an:
a.       Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa setiap orang dihalalkan menikahi wanita-wanita bahkan juga berpoligami, tetapi dalam hadits dikatakan: ”Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammeh (saudara bapaknya), dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya”.
Dan juga dalam hadits : ”Sesungguhnya Allah mengharamkan mengawani seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”.(HR.Bukhori Muslim)
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an mengemukakan hukum atau aturan-aturan yang bersifat umum, yang kemudian dikhususkan dengan As-Sunnah.
b.      Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa anak-anak dapat mewarisi orang tuanya dan keluarganya, hal itu berada dalam surat an-Nisa ayat 11:  Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap anak berhak mendapat harta pusaka (ahli waris) dan bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan, kemudian ayat ini dikhususkan dengan sunnah yang berbunyi: ”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si muslim”.(HR.Jama’ah)
Begitu juga dalam hadits: ”Seorang pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh”.
3.      Bayan ta’yin
Definisi bayan ta’yin ialah bahwa As-Sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh al-Qur’an.
Seperti diketahui, dalam al-Qur’an banyak ayat atau lafal yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna, oleh karena itu bayan ta’yin berperan dalam hal ini.
Contoh dalam kasus ini, di dalam al-Qur’an dikatakan bahwa perempuan-perempuan yang dicerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’. Lafal quru’ dalam ayat yang berbunyi:
Ini mempunyai arti haid dan suci. Oleh karena itu, apakah yang dimaksud ayat tersebut adalah perempuan yang ditalak itu tiga kali atau tiga kali suci. Masih belum jelas keterangannya maka pada kasus ini, hadits berperan dalam menentukan waktu yang dimaksud oleh lafal quru’.
Menurut asal lughah, makna harfiahnya, qur’un itu adalah waktu yang dibiasakan (al-waqt al-mu’tad) sedangkan dalam keterangan yang lain dikatakan bahwa yang dimaksud waktu yang dibiasakan itu tidak lain kecuali haid.
Untuk menguatkan pendapat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Iddah itu diketahui dengan tidak adanya kehamilan di rahim, dan hal itu bisa diketahui dengan adanya haid.
b.      Di dalam al-Qur’an, tidak pernah disebutkan sesuatu dengan kalimat atau lafal yang dianggap tidak sopan, meskipun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah haid.
c.       Terdapat hadits yang menyebutkan bahwa iddah perempuan yang di talak itu dengan 3x haid.
4.      Bayan nasakh
Selain ketiga fungsi di atas, fungsi As-Sunnah juga sebagai penjelas ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang secara lahiriyah ayat-ayat tersebut. Bayan nasakh ini juga disebut bayan tabdil (pengganti suatu hukum atau menghapusnya).
  1. Menetapkan dan menentukan suatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an. Segala tingkah laku manusia di dunia sudah diatur oleh Allah di dalam al-Qur’an, secara garis besar. Hal tersebut bisa dipahami dari wahyu Allah yang terakhir diturunkan kepada Nabi yakni surat al-Maidah ayat 3:
Yang dimaksud sempurna dalam ayat tersebut adalah bahwa secara global segala masalah keagamaan sudah diungkapkan dalam al-Qur’an. Meskipun demikian Rasulullah dalam prakteknya memberikan penjelasan yang lebih jelas dan terperinci guna memberikan kemudahan umatnya dan menjalankan perintah agama.
Contoh-contoh hukum yang ditetapkan As-Sunnah antara lain, hukum haram memakan daging himar, daging binatang buas yang bertaring, dan haramnya laki-laki mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus.

DAFTAR PUSTAKA
Abuddinnata, Al-Qur'an dan Hadits, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: RAjawali Pers, 2006.
Usman, Suparman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Surya Putra

Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran

Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran, Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).